Kesadaran itu sudah hadir, namun
merealisasikan kesadaran dalam tindakan nyata begitu susahnya. Aku tahu apa
yang terbaik untukku namun tak pernah aku lakukan itu. Bukan tidak tergerak
namun bawaannya males mulu. Susah amat ngilanginnya. Berat sekali memaksa diri
memenuhi hasrat untuk memerangi malas dan mendisiplinkan diri padahal aku sudah
tahu bahwa akibatnya pasti akan datang kegelisahan dan kebingungan. Setelah
gelisah dan bingung itu hadir, bukan tindakan memaksa dan disiplin diri yang
aku lakukan namun aku biarkan diri dalam kegelisahan. Tak ada waktu ketika itu
untuk bahagia dan menikmati setiap detik yang berjalan karena semua telah
dirampas oleh kegelisahanku sendiri. So, hari-hariku adalah hari-hari gelisah.
Tak banyak yang bisa dilakukan dan pasti pula tak ada peningkatan. Semua hari
berkutat pada rasa gelisah yang dengan sengaja diciptakan sendiri. Dan parahnya
aku salahkan Tuhan kenapa Dia dengan teganya membiarkan aku seperti ini. Jadi,
penghancur utama kehidupanku bukanlah dari luar, orang lain atau lingkungan
tapi diri sendiri.
Aku kadang menyebut ini ujian
dari-Nya tapi dipikir-pikir lagi ujian kok kayak begini. Sangat naïf sekali aku
menyebut ini sebagai ujian dan aku anggap lagi ini ujian terberat. Yah, padahal
hanya melawan rasa malas, penundaan, egois, dan segala hal yang terkait dengan
diri. Hanya melawan diri sendiri. Dalam hidupku tak ada ujian yang sumbernya
dari luar sikap diri yang tak selesai-selesai ini. Aku menangis meraung-raung ke Tuhan juga
hanya karena persoalan bagaimana aku melawan diri sendiri. Bahkan dalam tahap
ini aku mencari dan mencari dimana letak Tuhan sebenarnya untuk bisa aku temukan
agar Tuhan bisa membantuku menyelesaikan persoalan yang aku anggap pelik ini. Hem,
mencari bentuk dan membentuk diri dengan melawan diri. Proses pencarian yang
begitu beda dengan yang lain. Aneh dan cukup terbelakang. Hehe, ujung-ujungnya
nih aku hancur dan pelan-pelan bisa musnah. Betapa tidak, saat ini aku tak lagi
menghargai diri, aku cap diri tak akan pernah bisa, cita-citaku juga hilang,
semangatku mengendor, aku sulit untuk bergaul, berhadapan atau berinteraksi
dengan orang lain, aku seakan tak bisa semuanya, bahkan aku hampa hadapi hidup
ini, menjadi tak berarti dan tak ada rasa nikmatnya. Hambar tak berasa.
Disinilah aku memilih jalan keluar untuk menyendiri, tidur, dan membebaskan
diri dari belenggu tanggung jawab termasuk ngerinya nih aku tinggalkan
kewajiban dari Tuhan pula tanpa merasa bersalah dan mengakui keberadaan-Nya-yang
pasti melihat diri ini. Jadi, kalau aku punya masalah dengan orang lain
sebenarnya bukan orang lain factor penyebabnya tapi aku. Termasuk jika aku
punya masalah dengan Tuhan sekalipun, penyebabnya bukan DIA tapi aku. Yah, dari
sikap dan sifat diriku yang tak kunjung aku rubah padahal aku sadar akan hal
itu.
Sudah banyak nikmat-Nya yang aku
sia-siakan, sudah tak terhitung kesempatan yang terbuang, sudah menua dan rusak
pikiran, sudah berkarat hati, sudah banyak hubungan terputus, sudah tipis
keimanan, sudah segalanya; hancur dan musnah. Kalau sudah kayak begini aku tanya, Tuhan ini
sebenarnya ada dimana?. Apa tindakan DIA melihat hambanya dikejar masalah?.
Mana Tuhan yang katanya Maha Pemberi Petunjuk dan punya sifat Rahman Rahim
itu?. Allah Rabb, ampuni hamba!. Karena sebenarnya sudah lepas tanggung
jawab-Mu dengan diberikannya hamba kesadaran namun aku saja yang tak mau mengeksekusi
kesadaranku itu dengan tindakan. Aku ingin Engkau gerakkan semuanya dengan
kuasa-Mu walau aku sendiri tak mau bergerak. Aku pikir, Engkau yang harus
mengeksekusi dengan tidak hanya berhenti memberi kesadaran pada hamba tapi juga
menggerakkan tangan, kaki, pikiran dan tubuh ini mengarah pada kesadaran yang
Engkau berikan itu. Aku ingin Engkau jadikan aku robot yang berjalan tanpa
pikiran atau malaikat tanpa nafsu. Begitulah selama ini aku maknai ke-Maha
Kuasa-an-Mu, menterjemah kun fayakun-Mu, dan memahami segala sikap baik-Mu.
Sungguh sebuah kesalahan dalam pemahaman dan keyakinan. Aku benar-benar telah
salah beraqidah pada-Mu. Sangat sayang sekali, Engkau beri hidup hamba setua
ini sampai berkepala dua tapi keliru dalam memahami-Mu. Umur ini habis terbuang
dalam kesia-siaan. Maaf kalau boleh, aku ingin menyebut proses langka ini bukan
sebagai takdir-Mu namun ini semua bagian dari kebodohan dan kesalahan yang
murni dariku. Karena kalau tidak pasti akan aku sebut Engkaulah yang merekayasa
hidupku seperti ini.
“Jadi tak usahlah aku susah menyesal dengan waktu yang sudah banyak
terbuang. Wong ini bagian dari rencana-Mu kok.
Hingga kalau ini sudah menjadi
bagian dari pikiranku, pastilah keinginan untuk berubah itu akan susah untuk
muncul sengan sempurna lewat hati, ucap dan tindakan nyata. Jadilah aku
terperangkap kembali pada pemahaman yang salah. Hancur lagi dan pasti hidupku
tak berarti. Jangankan dipilih sebagai hamba-Nya yang layak mendapat predikat sebagai
hamba yang berprestasi denga reward surga-Nya, menikmati hidup saja aku tak
akan mampu karena jelas aku disiksa oleh keadaanku sendiri (walau sampai sekarang aku ingin hadapi hidup
ini hancur sekalian dengan menikmati segala kesenangan duniawi walau itu
dimurkai-Nya. Emang gak takut sama Allah ya?.).
Aku sekarang sadar akan
kesalahanku dalam beraqidah, menyakini dan memahami-Nya. Sangat mengerikan
kiranya kalau aku tidak segera mengeksekusi kesadaran ini dengan taubat nasuha
dan tindakan sebagai ujung dari perubahan. Karena kalau aku melihat ini sudah
memuncak dan aku sendiri sudah ngeri melihat ini semua. Kalau aku sendiri tak
bergerak tak akan bisa, tentu dengan pertolongan-Nya. Karena aku menghilangkan
DIA sepenuhnya pastilah aku terjebak kembali pada kesalahan untuk yang kedua
kalinya-walau pemahaman yang berbeda. Kalau di awal aku meyakini bahwa
segalanya adalah Allah dengan mengesampingkan usaha dan menisbihkan peran akal
dan pikiran, untuk yang kedua ini segalanya adalah AKU dengan meminimalkan-Nya.
Terjebaklah aku pada aqidah kaum Jabariyah dan Qadariyah. Ihhh…menakutkan
sekali. Inilah sumber ketidak tenangan hidupku selama ini. Mengaku beraqidah
Islam namun dalam pemikiran (baca : pemahaman ) salah fatal. Inilah mungkin
kenapa pengakuanku akan keberadaan-Nya dan air mata yang senantiasa keluar
karena harap dan takut pada-Nya, tak berujung pada perubahan perilaku dan
berbuah istiqamah. Qalbun Salim yang aku dambakan juga tak kunjung datang.
Aku telah memilih diri ini untuk
menjadi “KRAN” kurnia-Nya; Ilmu, Hikmah dan Harta. Aku harus terus belajar dari
setiap proses yang aku jalani ini. Dan berharap ini bagian dari prosesku menuju
kesana. Sekarang sudah saatnya melangkah kembali dengan hati, ucapan dan
tindakan yang selaras. Paling tidak itu dulu. Setelah itu, semoga akan dapat
banyak hikmah yang akan menuntun diri ini berjalan menuju kesana. Tentu dengan
tidak menafikkan peran baik-Nya dan tetap menjadikan DIA sebagai awal dan
ending dari proses ini. Rabb, ijinkan hanya untuk-Mu walau hamba berjalan tidak
sepenuhnya menuju kesana karena kelemahan, kebodohan dan segalanya yang kurang
dariku.
Surabaya, 17 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar