Aku Disini

Kamis, 27 September 2012

Ada Bullying dalam OSPEK di Kampusku

Ini pengalaman pribadi 5 tahun yang lalu tepatnya tahun 2007, tapi masih membekas dalam memori saya dan kadang kala saya ceritakan ke setiap mahasiswa baru yang akan ikut OSPEK. Saya ceritakan kepada mereka tentang apa yang saya alami. Tanpa sadar mereka terprovokasi bahwa OSPEK di kampusku sama sekali tak berguna, membuang waktu dan mematikan mental. Mungkin yang membaca tulisan ini akan bertanya, kalau kejadian itu 5 tahun yang lalu kenapa mesti diungkap lagi?. Bukankah bisa jadi setelah tahun 2007 kejadian itu tidak terulang lagi, karena pergantian senat dan kebijakan?. Kalau kondisi setelah tahun 2007 jelas ada perubahan, akan aku urungkan untuk menulis. Kalau pun aku tulis, mungkin ini hanya sekedar jadi konsumsi pribadi yang hanya jadi kenangan dan sesekali aku ceritakan pada anak cucu kalau aku pernah jadi korban Bullying ketika orientasi jadi mahasiswa baru. Namun keinginan untuk menulis dan menshare tulisan ini semakin menggebu ketika saya menemukan kejadian yang tak jauh beda dari yang saya alami 5 tahun yang lalu, masih ada bullying dalam OSPEK di kampusku. Aku melihat dengan kepala mata sendiri bagaimana aktivitas perpeloncoan masih terjadi lewat aturan-aturan yang diberikan kepada mahasiswa baru. Model pakaian dengan aksesoris begini begitu dan masih banyak yang lain--yang kalau aku sebutkan satu persatu semakin menunjukkan kalau yang ikut OSPEK itu diperlakukan seperti rakyat jajahan yang bodoh, sehingga mereka tak tergerak sekali pun untuk berontak. 

Agar tulisan ini tidak menjadi pandangan pribadi, saya iseng-iseng mendekati salah satu mahasiswa baru yang ikut ospek. Saya ingin buktikan bahwa bullying dalam Ospek tahun 2007 juga mereka alami. Cerita dan keluh kesah yang sama saya dapatkan dari mahasiswa baru yang aku temui itu. Ada banyak sekali aturan dalam Ospek 2012 yang bertentangan dengan hati nurani. Andai saja mereka tahu kalau Ospek itu bukan suatu keharusan, mereka pasti akan memilih untuk tidak ikut. (mohon maaf, statement ini bukan berdasar survey tapi kebenarannya bisa dibuktikan). Kalau anda yang membaca tulisan ini adalah mahasiswa baru yang tahun ini ikut Ospek pasti akan membenarkan dan tentunya akan ada banyak yang diceritakan tentang bullying dalam Ospek.

Begini cerita bullying yang aku alami dalam Ospek tahun 2007 yang lalu;
Hari kedua, aku datang terlambat karena pasti tidak akan saya gadaikan shalat shubuhku hanya dengan Ospek. Oia tentang shalat, ada yang berkesan juga. Saat upacara hari pertama ospek, jam 5 sore masih belum selesai upacara padahal masih banyak yang belum shalat Ashar. Termasuk mungkin kakak senat yang ada di depan itu. Hehe, tapi untunglah aku bisa mencuri waktu saat adzan berkumandang tiba aku langsung Ashar. Aku mendengar mahasiswa yang ada di depan saya belum shalat ashar karena takut sama kakak senat, dengan tegas saya bilang;

“Sudah saya tanggung kalau ada apa-apa. Sudah sana ashar! Masak iya kalian lebih takut pada manusia gak jelas itu daripada sama Allah”.

Saya tidak tahu berapa mahasiswa yang belum shalat saat itu. Saya hanya geleng-geleng kepala.
Apa perlakuan kakak-kakak senat melihat keterlambatanku?. Mereka spontan membentak keras sambil memerintah saya dan juga mahasiswa yang datang terlambat untuk berjalan keliling seperti bebek. Aku pun dengan mangkel menuruti keinginan itu walau tidak seratus persen sama seperti yang lain. Saya sambil dikata-katai; ngeyel kamu!. Selepas itu buru-buru mahassiswa dikasi’ jatah makan 5 menit dengan minum aquades. Tanda tanya besar dalam benak saya; kenapa harus 5 menit?. Bukankah kita dianjurkan untuk makan pelan saja biar menikmati?. Kenapa juga harus aquades?. Kalau orang alergi dan sudah terbiasa dengan merk yang lain bagaimana?.

Batin saya memberontak dengan segala aturan itu, sedikit saya lahirkan pemberontakan itu dalam bentuk ketidak taatan saya atau dalam bentuk pertanyaan rasional untuk segala aturan yang diberikan oleh kakak senat. Saya baru memberontak penuh ketika saya disuruh untuk menggadaikan prinsip saya. Begini ceritanya; seperti mahasiswa yang lain saya pun juga disuruh untuk memakai ID Card raksasa yang digantung di leher. Sisi kanan berisi identitas pribadi dan foto sedangkan sisi kiri untuk idola lengkap dengan identitas dan fotonya juga. Sebelum saya membuat saya berpikir kalau untuk idola akan saya tetapkan Muhammad saw. sebagai idola saya walau tidak ada fotonya. Saya ganti dengan kaligrafi bertuliskan Muhammad saw. Tanpa saya sadari keputusan saya untuk mencantumkan Muhammad saw. sebagai idola itu mengandung respon keras dari kakak senat. Dengan nada membentak seorang kakak senat tanya;
“ kamu ini mengerti aturan apa tidak sih?. Kok ID cardnya begini?”.  
Saya bingung dengan pertanyaan itu karena saya lihat tak ada yang salah dengan ID card saya, sama seperti yang lain. Hanya foto idola saja yang bertuliskan kaligrafi.
“kenapa kamu tulis kaligrafi ruang foto idolamu ini?”.
Dengan mengernyitkan dahi saya jawab dengan tegas.
“Kakak ini Islam gak sih, masak iya Muhammad saw. ada fotonya?”.
Wow, dengan wajah memerah kaka senat itu membentak saya lagi.
“Ngeyel kamu?. Kalau gak ada fotonya Muhammad saw. itu cari idola lain yang ada fotonya”.
Huh..aku serasa ditampar keras masak iya ada orang yang berani mengomong begitu. Saya tahan untuk membalas dengan nada keras pula. Dengan pelan saya jawab.
terus terang saya bukan sok alim atau apa, saya masih belajar untuk mengidolakan Muhammad saw. karena hanya dia yang pantas untuk diidolakan oleh seorang muslim”.
Tanpa basah basi, kakak senat menyeret saya agar saya tidak berceramah di depan mahasiswa baru yang lain agar tak mempengaruhi karena saat saya ngomong saya berada di depan kerumunan mahasiswa baru yang juga lagi di Ospek. Saya tepat berada di depan mereka saat itu. Kemudian, di sudut pojok kampus dekat gedung pertemuan, saya diintrogasi layaknya tahanan.
“kalau kamu tidak merubah prinsip kamu, besok kamu akan saya keluarkan. Akan saya laporkan ke akademik”.
Dengan nada tenang saya jawab,
“silahkan, jangankan besok sekarang pun saya akan keluar dari Ospek ini !.”
Wow, seberanikah itu saya?. Walau saya agak ketar-ketir juga karena menurut kabar burung yang tidak ikut ospek dan Ospek tidak akan mendapat setifikat. Padahal sertifikat ospek dan Ospek itu adalah syarat untuk ujian skripsi. Tapi kenyataan saat ini tak terbukti kabar burung itu, bulan depan saya akan wisuda.

Itulah cerita saya, bukan bermaksud untuk membuka aib dan borok sendiri di depan public. Tapi saya hanya ingin tunjukkan bahwa zaman secanggih ini masih berlaku ospek dengan model perpeloncoan dan bullying begitu. Sangat tidak mendidik dan mematikan mental. Mahasiswa baru sudah dicekoki dengan hal yang tidak benar. Orang sudah diajari takut untuk memberontak terhadap kebijakan yang tidak rasional. Bagaimana bisa nanti ketika mahasiswa baru itu dihadapkan dengan kenyataan di lapangan. Saya yakin peristiwa reformasi tahun 1998 tidak akan pecah kalau mahasiswa saat itu penakut dan tidak berani melanggar kebijakan yang rasional. Hehe, kalimat begituan saya ceramahkan juga pada kakak senat tempo itu. Tapi lagi-lagi sayang tidak diijinkan untuk saya ceramahkan di depan mahasiswa baru.

#Kantor sby, 27 Sept. 2012. At : 14.02

Selasa, 04 September 2012

Ujian Melawan Diri Sendiri

Kesadaran itu sudah hadir, namun merealisasikan kesadaran dalam tindakan nyata begitu susahnya. Aku tahu apa yang terbaik untukku namun tak pernah aku lakukan itu. Bukan tidak tergerak namun bawaannya males mulu. Susah amat ngilanginnya. Berat sekali memaksa diri memenuhi hasrat untuk memerangi malas dan mendisiplinkan diri padahal aku sudah tahu bahwa akibatnya pasti akan datang kegelisahan dan kebingungan. Setelah gelisah dan bingung itu hadir, bukan tindakan memaksa dan disiplin diri yang aku lakukan namun aku biarkan diri dalam kegelisahan. Tak ada waktu ketika itu untuk bahagia dan menikmati setiap detik yang berjalan karena semua telah dirampas oleh kegelisahanku sendiri. So, hari-hariku adalah hari-hari gelisah. Tak banyak yang bisa dilakukan dan pasti pula tak ada peningkatan. Semua hari berkutat pada rasa gelisah yang dengan sengaja diciptakan sendiri. Dan parahnya aku salahkan Tuhan kenapa Dia dengan teganya membiarkan aku seperti ini. Jadi, penghancur utama kehidupanku bukanlah dari luar, orang lain atau lingkungan tapi diri sendiri. 

Aku kadang menyebut ini ujian dari-Nya tapi dipikir-pikir lagi ujian kok kayak begini. Sangat naïf sekali aku menyebut ini sebagai ujian dan aku anggap lagi ini ujian terberat. Yah, padahal hanya melawan rasa malas, penundaan, egois, dan segala hal yang terkait dengan diri. Hanya melawan diri sendiri. Dalam hidupku tak ada ujian yang sumbernya dari luar sikap diri yang tak selesai-selesai ini.  Aku menangis meraung-raung ke Tuhan juga hanya karena persoalan bagaimana aku melawan diri sendiri. Bahkan dalam tahap ini aku mencari dan mencari dimana letak Tuhan sebenarnya untuk bisa aku temukan agar Tuhan bisa membantuku menyelesaikan persoalan yang aku anggap pelik ini. Hem, mencari bentuk dan membentuk diri dengan melawan diri. Proses pencarian yang begitu beda dengan yang lain. Aneh dan cukup terbelakang. Hehe, ujung-ujungnya nih aku hancur dan pelan-pelan bisa musnah. Betapa tidak, saat ini aku tak lagi menghargai diri, aku cap diri tak akan pernah bisa, cita-citaku juga hilang, semangatku mengendor, aku sulit untuk bergaul, berhadapan atau berinteraksi dengan orang lain, aku seakan tak bisa semuanya, bahkan aku hampa hadapi hidup ini, menjadi tak berarti dan tak ada rasa nikmatnya. Hambar tak berasa. Disinilah aku memilih jalan keluar untuk menyendiri, tidur, dan membebaskan diri dari belenggu tanggung jawab termasuk ngerinya nih aku tinggalkan kewajiban dari Tuhan pula tanpa merasa bersalah dan mengakui keberadaan-Nya-yang pasti melihat diri ini. Jadi, kalau aku punya masalah dengan orang lain sebenarnya bukan orang lain factor penyebabnya tapi aku. Termasuk jika aku punya masalah dengan Tuhan sekalipun, penyebabnya bukan DIA tapi aku. Yah, dari sikap dan sifat diriku yang tak kunjung aku rubah padahal aku sadar akan hal itu.

Sudah banyak nikmat-Nya yang aku sia-siakan, sudah tak terhitung kesempatan yang terbuang, sudah menua dan rusak pikiran, sudah berkarat hati, sudah banyak hubungan terputus, sudah tipis keimanan, sudah segalanya; hancur dan musnah.  Kalau sudah kayak begini aku tanya, Tuhan ini sebenarnya ada dimana?. Apa tindakan DIA melihat hambanya dikejar masalah?. Mana Tuhan yang katanya Maha Pemberi Petunjuk dan punya sifat Rahman Rahim itu?. Allah Rabb, ampuni hamba!. Karena sebenarnya sudah lepas tanggung jawab-Mu dengan diberikannya hamba kesadaran namun aku saja yang tak mau mengeksekusi kesadaranku itu dengan tindakan. Aku ingin Engkau gerakkan semuanya dengan kuasa-Mu walau aku sendiri tak mau bergerak. Aku pikir, Engkau yang harus mengeksekusi dengan tidak hanya berhenti memberi kesadaran pada hamba tapi juga menggerakkan tangan, kaki, pikiran dan tubuh ini mengarah pada kesadaran yang Engkau berikan itu. Aku ingin Engkau jadikan aku robot yang berjalan tanpa pikiran atau malaikat tanpa nafsu. Begitulah selama ini aku maknai ke-Maha Kuasa-an-Mu, menterjemah kun fayakun-Mu, dan memahami segala sikap baik-Mu. Sungguh sebuah kesalahan dalam pemahaman dan keyakinan. Aku benar-benar telah salah beraqidah pada-Mu. Sangat sayang sekali, Engkau beri hidup hamba setua ini sampai berkepala dua tapi keliru dalam memahami-Mu. Umur ini habis terbuang dalam kesia-siaan. Maaf kalau boleh, aku ingin menyebut proses langka ini bukan sebagai takdir-Mu namun ini semua bagian dari kebodohan dan kesalahan yang murni dariku. Karena kalau tidak pasti akan aku sebut Engkaulah yang merekayasa hidupku seperti ini.

“Jadi tak usahlah aku susah menyesal dengan waktu yang sudah banyak terbuang. Wong ini bagian dari rencana-Mu kok.
Hingga kalau ini sudah menjadi bagian dari pikiranku, pastilah keinginan untuk berubah itu akan susah untuk muncul sengan sempurna lewat hati, ucap dan tindakan nyata. Jadilah aku terperangkap kembali pada pemahaman yang salah. Hancur lagi dan pasti hidupku tak berarti. Jangankan dipilih sebagai hamba-Nya yang layak mendapat predikat sebagai hamba yang berprestasi denga reward surga-Nya, menikmati hidup saja aku tak akan mampu karena jelas aku disiksa oleh keadaanku sendiri (walau sampai sekarang aku ingin hadapi hidup ini hancur sekalian dengan menikmati segala kesenangan duniawi walau itu dimurkai-Nya. Emang gak takut sama Allah ya?.).

Aku sekarang sadar akan kesalahanku dalam beraqidah, menyakini dan memahami-Nya. Sangat mengerikan kiranya kalau aku tidak segera mengeksekusi kesadaran ini dengan taubat nasuha dan tindakan sebagai ujung dari perubahan. Karena kalau aku melihat ini sudah memuncak dan aku sendiri sudah ngeri melihat ini semua. Kalau aku sendiri tak bergerak tak akan bisa, tentu dengan pertolongan-Nya. Karena aku menghilangkan DIA sepenuhnya pastilah aku terjebak kembali pada kesalahan untuk yang kedua kalinya-walau pemahaman yang berbeda. Kalau di awal aku meyakini bahwa segalanya adalah Allah dengan mengesampingkan usaha dan menisbihkan peran akal dan pikiran, untuk yang kedua ini segalanya adalah AKU dengan meminimalkan-Nya. Terjebaklah aku pada aqidah kaum Jabariyah dan Qadariyah. Ihhh…menakutkan sekali. Inilah sumber ketidak tenangan hidupku selama ini. Mengaku beraqidah Islam namun dalam pemikiran (baca : pemahaman ) salah fatal. Inilah mungkin kenapa pengakuanku akan keberadaan-Nya dan air mata yang senantiasa keluar karena harap dan takut pada-Nya, tak berujung pada perubahan perilaku dan berbuah istiqamah. Qalbun Salim yang aku dambakan juga tak kunjung datang.

Aku telah memilih diri ini untuk menjadi “KRAN” kurnia-Nya; Ilmu, Hikmah dan Harta. Aku harus terus belajar dari setiap proses yang aku jalani ini. Dan berharap ini bagian dari prosesku menuju kesana. Sekarang sudah saatnya melangkah kembali dengan hati, ucapan dan tindakan yang selaras. Paling tidak itu dulu. Setelah itu, semoga akan dapat banyak hikmah yang akan menuntun diri ini berjalan menuju kesana. Tentu dengan tidak menafikkan peran baik-Nya dan tetap menjadikan DIA sebagai awal dan ending dari proses ini. Rabb, ijinkan hanya untuk-Mu walau hamba berjalan tidak sepenuhnya menuju kesana karena kelemahan, kebodohan dan segalanya yang kurang dariku.

Surabaya, 17 Januari 2012

Senin, 03 September 2012

Aku Merasakan Kematian Itu Dekat


Tubuhku menggigil, jantungku berdenyut kencang, nafas terasa sebentar akan terhenti, terasa segala hal di sampingku menjadi hambar dan tak seperti ada.. Huh, aku begitu takut dan ingin menghentikan seketika aktifitas keduniaanku. Aku ingin berteriak keras; “Allah….!!!. Jangan Kau ambil dulu nyawa ini karena hamba belum siap. Aku takut Allah merasakan sakitnya kematian itu dan aku belum bisa meninggalkan orang-orang yang hamba cintai, ada sejuta keinginan baik hamba yang bisa kujadikan bekal menuju-Mu”. Ini adalah kejadian dahsyat yang aku alami. 

Dari awal aku sampaikan jika aku ingin merasa dekat dengan-Nya, hampir menjadi tak terasa yang lain. Hambar dan aku ingin hanya DIA yang ada dalam hatiku bukan yang lain, kalaupun ada yang lain harus aku pastikan DIA menyertainya. Tapi jika aku mulai ada kecenderungan mendekati dosa, seakan DIA tak ada dan tak tergetar sama sekali hati ini walau aku paksakan mengingat-Nya. Rasa nikmat yang dimunculkan kegiatan dosa itu melupakan segalanya termasuk DIA. Astagfirullah..

Berkali-kali aku sampaikan pada-Nya kalau aku ingin taubat nasuha, dan tak ingin menyentuh dosa sekecil apapun itu. Aku ingin hati yang bening, qalbun salim. Tapi aku tak punya kekuatan menghindar dari dosa dan melaksanakan ketaatan dengan penuh pada-Nya dengan istiqamah. Aku bertanya, bagaimana caranya?. Setiap kali aku sadar dan ada kecenderungan ingin dekat dengan-Nya aku menggigil keras dan tumpah air mata. Di saat apapun itu khususnya ketika shalat.

Dan aku ingin sampaikan padamu, sadar itu lahir ketika harap padamu itu hadir lewat mengingatmu dari angan seketika atau karena kau hadir secara fisik dihadapanku. Harap ini hadir, aku ingin segera memutuskan menghadap-Nya. Akupun bersimpuh dengan berharap banyak DIA sambut kehadiranku. Aku meyakinkan-Nya dengan kondisi hati yang luluh. Saat itu yakinku bertambah besar bahwa pada saatnya nanti DIA pasti kabulkan harap ini. Hem, ada bahagia seketika dengan hadirnya keyakinan itu. Tapi tak jarang saat simpuh puncakku aku ingin pasrah dan ingin hanya DIA yang tak boleh lepas dari hati dan kehidupanku. “Aku ikut mau-Mu Tuhan walau harap ini tak akan pernah sirna jika memang ada Engkau dalam harap ini”.

Tepat ketika untuk yang kedua kalinya setelah simpuh sujud dalam waktu dhuhur-Nya, perasaan ingin harap pada-Nya muncul kembali dalam waktu Ashar-Nya. Dalam shalat Ashar jama’ah itu aku menggigil kuat dengan tumpah ruah air mata. Dan inilah waktunya, perasaan maut akan menjemputku tiba-tiba hadir dalam dada. Aku ketakutan, bener-bener dahsyat kejadian ini. Aku seakan tak mampu lagi bergerak. Aku ingin menyebut nama-Nya dengan keras sampai pada akhirnya Allah pastikan nyawaku tercabut. Entah bagaimana sakitnya. Aku ingin mengerang. Aku ingat Rasulullah saja merasakan sakit saat ajal menjemputnya. Apalagi saya ya Rabb, betapa akan terasa dahsyat rasa sakit itu karena aku tahu aku adalah hambamu yang berlumur dosa dan noda. Seketika itu juga, orang-orang tercinta ada dalam bayanganku. Bagaimana kagetnya ibuku tercinta mendengar berita kematianku. Aku tak kuasa membayangkannya, semakin menambah ketakutanku saat itu. Entah berapa lama rasa sedih dan air mata itu akan terus tumpah ruah dipipinya yang mulai keriput itu?. Karena aku tahu betapa banyak harap bahagia yang ingin beliau dapatkan lahir lewat wasilah diri ini. “Tuhan, ijinkan sejenak aku bertemu ibu. Biar saat badan ini merenggang ibu ada memangkuku”. Aku ingat semuanya, termasuk kau juga datang dalam bayanganku. “Allah, sungguh aku takut sekali, aku belum siap. Aku belum bisa berbuat banyak Rabb untuk bekalku menghadap-Mu. Ingin demi ingin ini, ingin aku capai dulu karena ada Engkau disana. Dan itulah aku tetap berharap Engkau penuhi segala ingin itu”. Huh, selepas salam shalatku perasaan dekat dengan mati semakin menjadi. Aku merasa hanya satu tarikan nafas aku akan meninggalkan semuanya. Aku coba tenangkan diri keluar masjid namun semakin menjadi pula. Pandanganku hambar tiba-tiba dan serasa semua jadi hampa. Maju mundur aku ingin menelepon Bapak Ibnu Rusydi, guru sekaligus teman curhatku. Aku telepon beliau dan aku ceritakan semuanya padanya, itu bagiku akan menjadikan bayang kematian ini akan semakin dahsyat. Tidak, aku tidak ingin cerita apapun dan kuurungkan keinginan menelpon beliau. Aku takut ceritaku jadi pertanda bahwa kematianku benar-benar akan terjadi. Berpikir seperti ini aku takut.

(Masjid as-Syahriyah Malang, 12 September 2011)    

Aku Semakin Mengerti


Aku semakin mengerti bahwa inilah hidup yang sebenarnya. Allah dengan waktu yang digulirkan mengajariku menghargai diri, tetap berpegang teguh kepada agama dan yang pasti tidak berputus asa terhadap rahmat-Nya. Kalau kondisi terpuruk, biasanya aku lebih sering down gairah hidup, semakin menganggap diri tak ada artinya dan yang pasti aku tak optimis lagi mendapat kasih sayang-Nya. Karena aku pikir, kenapa kejadian ini terjadi begitu sering kepadaku?. Sedang Allah Mengetahui untuk itu. Satu sisi aku semakin berputus asa terhadap rahmat Allah, di sisi lain aku salahkan diri ini, aku ratapi, kenapa tak jua berubah diri ini?. Diri ini begitu lemah untuk perubahan. Hanya ada keinginan yang menggebu tapi ketika diminta untuk bertindak demi perubahan itu aku seakan lelah sendiri. Ketika itu jadilah aku seorang yang hampa tiba-tiba, tak merasakan apa-apa kecuali kegundahan. Dalam posisi puncak bisa tumpahlah air mata ini.

Aku bertanya, inikah aku?. Akankah aku temukan jua dalam pribadi remaja sepertiku?. Jejalan pertanyaan demi pertanyaan, kegelisahan yang seakan tak berujung, kehampaan, kebingungan, idelisme hidup yang berujung penerimaan atau bahkan persoalan dengan Tuhan, dan kelelahan yang tiada mengikuti langkah demi langkah. Seperti inikah yang lain?. Atau hanya diriku yang mengalami?. Aku sampai saat ini masih terus mencari dimanakah letak hubungan kondisi diri ini dengan kebijakan Tuhan-yang senantiasa aku cari, apa maunya Allah berikan ini semua untukku?. Aku berpikir keras mencari tahu dimanakah letak hikmah dan manfaatnya. Walau terkadang dalam proses itu aku semakin lelah karena aktivitas berpikirku semakin bertambah. Ditambah lagi berpikir persoalan hidup yang lain di luar itu. Semakin bertambah lelah lah diri ini. Yang menyakitkan ketika dalam proses pencarian itu aku temukan diri ini lemah sehingga ada bayang-bayang ketidak bisaan diri ini untuk kembali meraih mimpi-mimpi dan beraktivitas apapun itu yang berujujng pada kebahagiaan diri.

Surabaya, 26 Agustus 2011

Pengikut