Skenario Tuhan begitu menakjubkan,
tapi aku tidak ingin katakan kesalahan tiap kesalahan yang aku lakukan ini bagian dari skenario-Nya, apalagi kesalahan yang berhubungan dengan orang lain.
Menjadi bagian dari skenario Tuhan, jika aku bisa ambil pelajaran penting dari setiap kesalahan yang aku lakukan.
Tapi kalau tidak, aku takut klaim~ku itu membuatku semakin nyaman dengan kesalahan-kesalahan di bawah lindungan -huznudzan- yang tidak berdasar.
Aku takut ketika aku semakin menggila dengan kesalahan, Sunnatullah Tuhan--gelisah dan dampak2 lain dari kesalahan--berlaku untukku. Kemudian dengan enaknya aku berkata : "Tuhan, bukankah ini ....?".
Rabb, maafkanlah aku !!!
Aku ingin skenario kecilku ini bagian dari skenario-Mu,
atau jangan biarkan aku menyusun skenario sendiri yang tidak sejalan dengan skenario-Mu.
Karena aku yakin skenario-Mu pasti yang terbaik.
Rabb, setiap kesalahan dari skenario masa laluku--termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya--Engkau maafkan.
Mulai saat ini, aku ingin hidup dalam skenario-Mu yang Engkau ilhamkan pada skenario kecilku.
Surabaya, 10 Oktober 2012
Rabu, 10 Oktober 2012
Aku ingin Nikmatnya Saja
Dalam pikiranku saat ini, aku
butuh muhasabah dan tafakkur seorang diri tanpa terikat oleh apapun. Seperti
Muhammad dalam gelisah aku juga butuh sendiri. Makanya aku punya ingin untuk
keluar dari apapun yang bisa mengikatku termasuk pekerjaan di _____ ini. Biar
sejenak aku menikmati kesendirianku. Berharap besar setelah itu aku kembali
dengan wajah yang lebih ceria, dengan tangan dan pundak yang lebih kuat untuk
menerima beban-beban hidup. Aku ingin setelah itu, aku kembali dan lahir dengan
diri yang kaffah. Mengerti dan memahami segala hal tentang hidup. Walau aku
masih berpikir, itu tak mungkin. Untuk menjadi sempurna dan kaffah itu tak akan
datang tiba-tiba. Semua akan mengalami proses siklus yang harus dilewati. Semua
butuh akal dan perasaan yang bakal menyertai setiap kejadian yang Tuhan
hadirkan untuk menguji setiap hamba. Tidak ada kejadian yang hadir pada seorang
hamba tanpa melibatkan akal yang diperas dan perasaan yang dipertaruhkan-kemudian
seorang hamba itu menerima, mengerti dan memahami kejadian itu sesuai dengan
apa yang menjadi ketentuan-Nya. Aku kalau melihat hamba seperti itu akan bakal
iri. Kenapa saya tidak bisa?. Kenapa aku mesti berperasaan dahulu atau
menggunakan akal yang justru kadang bertentangan dengan perasaan ketika hadapi
kejadian demi kejadian yang terjadi?.
Sampai-sampai ada kalimat
terlontar khusus pada-Nya tentang ini:
“Rabb, aku ingin penuhi segala
ingin-Mu. Aku akan hidup dengan-Mu. Apapun segala ketentuan-Mu akan aku ikuti.
Walau berat menurut orang lain tapi bagiku karena-Mu akan aku jadikan nikmat.
Tapi dengan satu syarat Rabb, jangan libatkan akal dan perasaanku terlalu dalam
menghadapi setiap kejadian yang ingin Engkau hadirkan. Cukup Engkau sibak
hikmah dibalik setiap kejadian kemudian Engkau kuatkan hamba dengan kekuatan-Mu
secara tiba-tiba tanpa perantara aku atau yang lain. Beri aku hidayah agar aku
indah selamanya dengan-Mu tanpa halangan dan lagi-lagi tanpa akal dan perasaan
yang justru kadang membingungkanku“.
Pikir-pikir lagi, aku ingin
seperti malaikat menghadapi setiap ketentuan-Nya. Bahasaku; manusia tanpa akal
dan perasaan menghadapi semua kejadian. Aku hanya ingin indah dan nikmatnya
saja bermesra dan meraih kecintaan pada-Nya. Aku ingin nikmat-Nya saja tanpa
perih dan luka. Yah, kurang lebih seperti malaikat. Tanpa nafsu, tanpa ada
salah. Hehe, tapi aku pikir lagi,-apakah bisa?. Tidak logis sama sekali dan
jelas tak tentu arah cara berpikir seperti ini. Aku sadari, ini mungkin bagian
akibat dari ketidakmampuanku hadapi masalah dan setiap kejadian hidup yang
hadir, akibat dari menyalahkan diri sendiri ketika tak bisa hadapi setiap
kejadian, akibat merasa kalah dengan yang lain dan akibat merasa yang lain
lebih berhasil hadapi setiap kejadian demi kejadian. Sampai berujung pada satu
kesimpulan bahwa diri ini begitu lemah dan hina. Diri ini tak mungkin lagi
memperbaiki diri dan berbuat apapun untuk hidup. Endingnya aku putus asa,
pesimis dan tak mau hadapi hidup ini. Cukup dengan DIA saja. Beribadah dan
beramal sebanyak mungkin. Biar DIA yang selesaikan segala urusanku, mengelus
dadaku ketika gelisah atau Tuhan sama sekali tak hadirkan gelisah dalam dada
ini. Cukup hanya kebahagiaan saja yang aku dapat dari-Nya, cinta-Nya dan aku bisa
banyak berbuat karena-Nya. Lagi-lagi tanpa melibatkan ujian yang memungkinkanku
untuk gelisah berkepanjangan sampai aku lupa dan tak tahu lagi kembali
mengingat-Nya. Ya seperti yang aku alami seperti saat ini; lupa dan tak dapat
jalan kembali untuk mengingat-Nya. Makanya sampai-sampai keinginan ekstrim
seperti ini muncul tiba-tiba tanpa aku sadari kesalahan dan kekeliruannya.
Padahal ini sudah menyangkut aqidah. Ini sebuah pemikiran yang salah dan
berikan tanda bahwa aqidahku masih belum beres dan perlu direparasi dengan
segera.
Aku masih ingat awalnya; aku
punya keinginan, aku punya banyak keterbatasan dan kelemahan (atau bisa jadi pikiranku saja yang
mengajakku untuk itu), aku banyak hadapi tantangan, aku sama sekali tak bersyukur dengan yang ada
karena aku senantiasa membandingkan yang telah ada dengan punya orang lain yang
aku tak punya. Kemudian muncullah pikiran; katanya Tuhan itu Maha Kaya, Maha
Mengetahui dan Maha segalanya,- kenapa DIA tak segera menolongku untuk penuhi
keinginan ini karena DIA pun pasti Tahu kalau ending dari segala ingin ini
adalah DIA bukan yang lain?. Apa susahnya bagi DIA memberi pertolongan
untukku?. Atau apa susahnya bagi DIA untuk memberi pengertian kepadaku tentang
semua ini?. Dimana DIA ketika aku lagi gelisah ingin mengetahui jawaban-jawaban
dari-Nya yang tak kunjung datang?. Akankah Tuhan ingin aku berpaling dari-Nya
sampai aku tak bisa kembali pada-Nya?. Padahal sungguh diri ini tak ingin
berpisah walau sejenak dengan-Nya, walau itu hanya dalam hati, itu pun karena
aku tak menemukan lagi selain-Nya. Aku takut kehilangan DIA walau aku tak tahu
pasti,-atas dasar apa aku takut pada-Nya. Apalagi ketakutan itu kadang hanya
sesaat, dipaksakan, dan sangat sulit sekali selaras dengan ucapan dan tindakan.
Dalam kondisi seperti ini aku
terus bertanya tanpa ada yang membimbing, tanpa ada yang tahu. Kalau pun aku
cerita,-mereka yang mendapatkan ceritaku ini tak bakal paham dengan sempurna.
Karena kalimatku atau karena kejadian ini begitu langka ada. Hem, aku pun
bingung menjawab dengan jawaban yang mana. Sepertinya kedua-duanya adalah yang
benar kalau mereka tak paham dengan ceritaku.
Aku mengalami hal seperti ini
sudah sejak lama; 13 tahun lamanya. Selama itu pula aku terus berperang dengan
pikiran-pikiranku sendiri, aku mencari jawaban dari setiap pertanyaanku.
Bayangkan aku pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali seperti yang aku ceritakan
panjang seperti di atas. Aku tak lagi mampu ‘keluar’. Dibilang nyaman-yaa
tidak. Dibilang nggak nyaman-kenapa aku masih tetap bertahan?. Setiap kali aku
berbuat khususnya yang berhubungan dengan orang lain-aku akan menolak dengan
alasan diri tak bisa, tak baik, takut malah bikin tak sempurna untuk orang lain
dan aku sudah merasa diri ini begitu lemah dan sangat tak bisa untuk menerima
pekerjaan atau amanah ini. Seberat apapun aku ingin cara, bagaimana aku bisa
keluar dari pekerjaan dan amanah yang diberikan padaku, kalau dengan kata menolak
tidak bisa aku masih berpikir bahkan berdoa pada Tuhan agar aku dilepaskan
dengan cara Tuhan dari amanah ini. Tapi biasanya aku sudah berhasil dengan kata
menolak saja. Tentunya dengan beragam bumbu alasan, melahirkan kata masalah
yang didramatisir sedemikian mungkin, sehingga orang yang mendengar atau orang
yang memberi amanah itu pun termakan dengan kalimatku yang berbumbu itu. Aku
pun lepas dari amanah yang satu dan amanah yang lain. Lega rasanya bisa
menghindar dari amanah,-bukan karena aku saja sebenarnya tapi benar adanya,-aku
takut yang lain merasa rugi dengan amanah yang aku pangku itu. Itu pikiran yang
terus menggelayutiku setiap saat dan waktu. Aku ini makhluk lemah yang takut
sekali menularkan kelemahan pada diri-diri yang lain. Biar aku saja sendiri
disini lemah daripada aku bersama dengan maksud baik tapi jadinya malah
menambah beban dan memperlemah yang lain.
Selepas terlepas dari amanah,
bersama rasa lega itu aku gelisah mempertanyakan diri ini,-mau bagaimana jika
setiap amanah yang datang aku tolak atas dasar kelemahan diri. Kapan aku bisa
berbuat dan kapan aku bisa berubah dan menghilangkan perasaan itu-yang
sejatinya itu membunuhku atau malah aku semakin berpikir bahwa aku tidak bisa. Benar
adanya, semakin aku menolak kesempatan demi kesempatan yang aku sebut amanah
itu,-semakin diri merasa lemah saja. Ujungnya aku salahkan diri, aku tak lagi
bersyukur akan diri dan paling ujung, aku semakin kufur pada-Nya.
Mempertanyakan keberadaan-Nya ketika kondisi diri seperti ini; amat sangat
membutuhkan-Nya.
Begitulah seterusnya tanpa ada
ending, tanpa ada akhir. Walau orang di luar diriku tetap saja menganggapku
luar biasa. Padahal menikmati saja segala kemampuan yang disebut oleh orang
saja aku sudah tak mampu. Sudah menjadi akut dalam diriku,-bahwa aku lemah dan
tak mungkin bisa. Tahukah engkau, bahwa sekarang sepertinya sudah memuncak.
Hilang sudah segala idealisme hidup, masa depan dengan segudang harapan dan
tingginya impian itu juga sirna. Aku ingin jadi biasa saja. Asal satu, Tuhan
yang aku paksakan hadir dalam diri ini bertahun-tahun lamanya tidak pergi meninggalkanku
karena kelemahan dan kebodohanku ini. Jangan dan jangan sampai. 13 tahun
lamanya aku hadirkan dengan segala cara, semoga tidak menjadi sia-sia. Walau
sampai saat ini aku paksa DIA agar terpatri dengan kuat di hati, ucapan dan
tindakan. Lagi-lagi dengan cara yang begitu lemah dan bodoh.
“Tuhan, dampingi hamba dalam setiap usaha
ini. Masih berharap Engkau menuntunku ke jalan yang sebenar-benarnya bukan
hanya yang aku anggap benar. Tuntun hamba sampai pada titik akhir hidupku agar
aku bisa menjadi sempurna tidak hanya sebagai seorang hamba yang mengabdi
pada-Mu namun juga sebagai khalifah yang menjadi kran kurnia-Mu dalam ilmu,
hikmah dan harta. Biarkan aku sampai pada-Mu dengan sempurna”.
(Batangbatang, 13 Desember 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)