Aku iri padamu yang punya
keluarga begitu harmonis. Ayah dan
ibumu begitu bahagia. Dan aku tak perlu bertanya, kamu dan dua adikmu
pasti bahagia pula. Aku menyangka keluargamu begitu karena kondisilah yang
menyebabkan. Ayah ibumu diberi kesempatan untuk berpendidikan tinggi dan
berkecukupan dalam persoalan rezeki. Sehingga dari situlah muncul
kebijakan-kebijakan hidup karena ayah ibumu sudah memahami dari pengalaman dan
ilmu yang beliau peroleh. Maaf, memang bukan segalanya pendidikan tinggi dan
kecukupan rezeki itu membuat orang bahagia. Tapi dalam keluargamu itulah salah
satu pendukung kebahagian dalam keluargamu. Di samping itu, ayah ibumu
mempunyai pemahaman dan kesadaran yang lebih membina rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah.
Sedang keluargaku, sampai saat
ini aku terus berusaha mencintai keluargaku sepenuh hati dan memunculkan
kebahagian demi kebahagian dalam keluargaku. Aku tak menemukan semburat
kebahagian yang penuh dalam keluargaku.
Ayah ibuku kebetulan tak
berkesempatan untuk mengeyam pendidikan tinggi. Jangankan itu, sekolah dasar
saja tak sampai. Ayahku hanya bisa membaca tulis sedang ibu buta huruf. Seperti
biasa, kondisi seperti ini sudah bisa menandakan bahwa ayah dan ibu hidup dalam
keterbatasan. Hari-hari mereka tentu dipenuhi dengan kerja keras membanting
tulang hanya untuk menghidupi anak-anaknya. Persoalan yang mereka hadapi tentu
lebih banyak.
Aktivitas ayahku setiap hari
bukan pergi ke kantor atau untuk pergi mengajar ke sekolah menenteng ransel. Tapi
dengan melawan panas dan lelah ayah mengayuh sepeda tua keliling dari kampung
ke kampung yang jaraknya puluhan kilometer itu untuk mencari nafkah; keliling
menjajakan kain. Setiap hari begitulah aktivitas ayah, pergi pagi pulang sore
hari. Masih teringat jelas, setiap pulang ayah membawa oleh-oleh jajan biasanya
goreng pisang dan ‘kopeng beli’. Dengan adilnya ibu membagi oleh-oleh ayah itu.
Empat anaknya pun begitu bergembira menyambut kedatangan ayah. “Alhamdulillah,
aku bisa menikmati goreng pisang lagi pemberian ayah”. Dengan nikmat kami semua
menikmati jajanan ayah itu. Maklum dengan keterbatasan ekonomi, makan goreng
pisang saja kami begitu bahagia.
Tak sempat beristirahat, sudah
barang tentu ayah sudah harus siap-siap menyambut petang karena setelah adzan
berkumandang anak-anak kecil di kampungku berbondong-bondong belajar mengaji ke
ayah. Jumlah mereka tidak sedikit tapi dengan ikhlas ayah mengajarinya tanpa
mengharap imbalan apapun. Tak sepeserpun ayah mendapat imbalan dari orang tua
santri. Tapi bagi ayah bukan imbalan dan penghargaan yang ayah ingini, beliau
hanya ingin ada banyak anak yang bisa mengaji dan shalat di kampungku. Itu saja
sudah cukup bagi ayah.
Entah tahun berapa yang pasti
saat itu aku masih umur 7 tahunan, ayah diberi ujian oleh Allah. Sepeda tua dan
seluruh dagangannya hilang dicuri orang. Tak ada satu pun yang tersisa.
Bagaimana tidak sedih, karena itulah sarana ayah mendapatkan rezeki. Hem, mau
bagaimana lagi dengan terpaksa kami sekeluarga menerimanya. Ayah pun mulai saat
itu mencari akal bagaimana menghidupi keluarga seperti biasanya. Sampai pada
akhirnya ayah memilih untuk menjadi tukang becak di kota . Namun itu tak sampai berbulan ayah
berhenti karena penghasilannya tak seberapa dan mampu mencukupi kebutuhan
keluarga apalagi saat itu aku dan dua kakakku sudah bersekolah. Muncullah inisiatif
ayah untuk mengikuti jejak-jejak sebagian tetangga yang mencari nafkah di pulau
Masalembu nun jauh disana. Tak ada lagi yang bisa dilakukan ayah di tempat
barunya itu kecuali jadi tukang becak juga. Selang beberapa bulan ayah memilih
pulang karena tidak kuat dengan kondisi dan pekerjaan ayah. Maklumlah fisik
ayah memang sedikit lemah. Pernah satu kali dengan becak dan penumpangnya ayah
terjatuh.
Mulai sejak ayah berhenti dari
profesinya itu, ayah fokus bertani dan membantu pekerjaan ibu beternak sapi.
Selesai shalat shubuh ayah dan ibu sudah siap-siap untuk pergi ke kandang dan
ke sawah. Dengan keadaan yang serba terbatas itu, memaksa ibu untuk bekerja
banting tulang pula mencari nafkah. Pernah satu waktu berjualan beras dan
jagung ke pasar. Namun karena tak mampu bersaing dengan yang lain, ibu berhenti
berjualan. Karena terus terang ibu tak punya tempat untuk berjualan. Beliau
hanya menumpang emperan toko milik Bu De. Sejak saat itu, ayah dan ibu memilih
fokus untuk bertani dan beternak walau hasilnya tidak seberapa. Hanya mampu
untuk makan dan bertahan hidup saja.
Saat ini, seharian ibu membanting tulang mulai dari persoalan dapur dan mengurus
ternak. Tak ada waktu untuk ibu beristirahat. Hanya waktu saat shalat
menjelang saja beliau gunakan untuk rehat sejenak. Setelah itu, ibu bergegas
kembali ke pekerjaannya. Sedang ayah dengan kondisi keterbatasan tenaga dan
umur yang sudah menua hanya bisa membantu pekerjaan ibu itu. Sisanya ayah
gunakan untuk mengajar anak-anak mengaji.
Saat ini pula, aku belum bisa berbuat apa-apa untuk kebahagiaan keluargaku.
Aku hanya bergelut dengan masalahku sendiri. Hanya impian yang menggebu di dada
ini untuk bangun kebahagiaan keluarga dengan tangan dan keringat sendiri tapi
belum berujung dalam tindakan yang sempurna. Terlalu banyak masalah yang juga
menghampiriku apalagi aku masih belum bisa membuang kebiasaanku sebagai orang
yang pemikir, terlalu berperasaan dengan hal-hal kecil serta aku terlalu lembek
dan penakut untuk bertindak. Padahal dengan melihat kondisi keluarga yang
menuntutku untuk sukses dan itu juga merupakan bagian dari cita-cita
hidupku-seharusnya aku sudah mulai bergerak lebih jauh. Bukan hanya berkutat dengan
kemelut diri.
Aku tak bisa menikmati keadaan ini yang seharusnya aku terima dan tak
berusaha pula membantu keluarga untuk menikmati keadaan yang seharusnya juga
diterima. Seharusnya tidak harus menunggu kaya untuk bisa menjalin keluarga
bahagia itu. Aku dan keluargaku juga punya hak dan bisa untuk bahagia walau
dengan kondisi yang seperti ini. Tapi harus tetap berkobar dalam dada kalau aku
harus kaya dan bisa membahagiakan keluarga. Sudah cukup penderitaan dan
ketidak-bahagian panjang yang ayah dan ibu alami.
Maka selama proses usahaku itu, aku kondisikan keluargaku untuk bahagia.
Dengan ucapan dan nasehat yang terus aku berikan pada mereka. Tentu juga dengan
tindakan yang membuat mereka senang. Sewaktu pulang kemarin aku ciumi seluruh
anggota keluargaku.
”Ibu, kita ini harus bahagia walau dengan kondisi keterbatasan.
Jadi biar tidak hanya orang kaya saja yang hidupnya tentram dan bahagia.
Kita pun juga harus bahagia.” Ibu kulihat menahan air mata sambil mengangguk.
”Ibu bahagia kok nak!”. Jawabnya
tegas meyakinkanku.
Kulihat wajah ibu yang sejuk itu banyak menanggung beban hidup untuk
kebahagian anak-anaknya. Tapi sampai saat ini beliau belum melihat dengan
sempurna anak-anaknya menyandang kesuksesan. Walau beliau tidak pernah menuntut
kami untuk sukses tapi pengorbanan dan doa yang terpanjat dari beliau telah
cukup memberikan bukti pada kami bahwa kami, anak-anak ibu harus sukses. Dengan
kondisi seperti ini, akankah aku masih berleha-leha menunda waktu untuk segera
menampakan senyum bahagia di wajah ibu dan ayah?.
Tak penting kamu mengeluhkan keadaan. Tak penting kamu bercengkrama dengan
ketidak-berdayaan dan ketidak-nikmatan. Yang harus kamu lakukan sekarang, kamu
segera mengambil tindakan untuk meraih impian-impianmu itu agar ibu dan ayahmu masih
sempat menikmati jua bersamamu. Sebelum...ya sebelum beliau tiada. Akan hilang
separuh kebahagianmu jika kamu bisa meraih impian-impianmu setelah beliau
tiada. Maafkanlah kesalahan mereka jika dalam benakmu terbersit pikiran kalau keadaanmu
seperti ini karena mereka, walau pikiranmu itu salah besar karena kamu tak
pernah mensyukuri keberadaan mereka walau mereka tak banyak yang bisa dilakukan
untuk membuat kamu bangga dan bahagia. Sudahlah, terima saja keadaan
keluargamu. Terima keadaan dirimu dan nikmati setiap proses untuk meraih
impian-impianmu itu. Jangan pernah menunda lagi sebelum kamu menyesal karena
orang yang begitu mencintaimu tak sempat melihat kamu bahagia.
Allah, aku tak mampu berkata-kata apa-apa lagi.
Hanya Engkau yang harus di sampingku menemani perjalanan ini.
Bersama Engkau, akan aku raih ’kado terindah terindah’ itu untuk ibu, ayah,
keluarga dan orang-orang yang aku sayangi!
Catcil seorang anak selesai
membaca catatan kecil sahabatnya; tentang....?.
Rasa iri itu menelusup tiba-tiba
dalam dadanya karena melihat keluarga sahabatnya itu begitu bahagia.
Kutulis catcil ini dalam
harapan yang membuncah!
Surabaya, 08 Agustus 2011
Revisi, 22 Desember 2011
At 07.53
Beginilah aktivitas ibu sehari-hari |
Ayah waktu masih muda |
Ibuku cantik sekali |
Bersama ayah dan ibu dalam wisudaku |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar