Aku Disini

Sabtu, 02 Maret 2013

Catcil Seorang Anak Tentang Ayah, Ibu dan Impiannya

Aku iri padamu yang punya keluarga begitu harmonis. Ayah dan ibumu begitu bahagia. Dan aku tak perlu bertanya, kamu dan dua adikmu pasti bahagia pula. Aku menyangka keluargamu begitu karena kondisilah yang menyebabkan. Ayah ibumu diberi kesempatan untuk berpendidikan tinggi dan berkecukupan dalam persoalan rezeki. Sehingga dari situlah muncul kebijakan-kebijakan hidup karena ayah ibumu sudah memahami dari pengalaman dan ilmu yang beliau peroleh. Maaf, memang bukan segalanya pendidikan tinggi dan kecukupan rezeki itu membuat orang bahagia. Tapi dalam keluargamu itulah salah satu pendukung kebahagian dalam keluargamu. Di samping itu, ayah ibumu mempunyai pemahaman dan kesadaran yang lebih membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.

Sedang keluargaku, sampai saat ini aku terus berusaha mencintai keluargaku sepenuh hati dan memunculkan kebahagian demi kebahagian dalam keluargaku. Aku tak menemukan semburat kebahagian yang penuh dalam keluargaku.

Ayah ibuku kebetulan tak berkesempatan untuk mengeyam pendidikan tinggi. Jangankan itu, sekolah dasar saja tak sampai. Ayahku hanya bisa membaca tulis sedang ibu buta huruf. Seperti biasa, kondisi seperti ini sudah bisa menandakan bahwa ayah dan ibu hidup dalam keterbatasan. Hari-hari mereka tentu dipenuhi dengan kerja keras membanting tulang hanya untuk menghidupi anak-anaknya. Persoalan yang mereka hadapi tentu lebih banyak.

Aktivitas ayahku setiap hari bukan pergi ke kantor atau untuk pergi mengajar ke sekolah menenteng ransel. Tapi dengan melawan panas dan lelah ayah mengayuh sepeda tua keliling dari kampung ke kampung yang jaraknya puluhan kilometer itu untuk mencari nafkah; keliling menjajakan kain. Setiap hari begitulah aktivitas ayah, pergi pagi pulang sore hari. Masih teringat jelas, setiap pulang ayah membawa oleh-oleh jajan biasanya goreng pisang dan ‘kopeng beli’. Dengan adilnya ibu membagi oleh-oleh ayah itu. Empat anaknya pun begitu bergembira menyambut kedatangan ayah. “Alhamdulillah, aku bisa menikmati goreng pisang lagi pemberian ayah”. Dengan nikmat kami semua menikmati jajanan ayah itu. Maklum dengan keterbatasan ekonomi, makan goreng pisang saja kami begitu bahagia.

Tak sempat beristirahat, sudah barang tentu ayah sudah harus siap-siap menyambut petang karena setelah adzan berkumandang anak-anak kecil di kampungku berbondong-bondong belajar mengaji ke ayah. Jumlah mereka tidak sedikit tapi dengan ikhlas ayah mengajarinya tanpa mengharap imbalan apapun. Tak sepeserpun ayah mendapat imbalan dari orang tua santri. Tapi bagi ayah bukan imbalan dan penghargaan yang ayah ingini, beliau hanya ingin ada banyak anak yang bisa mengaji dan shalat di kampungku. Itu saja sudah cukup bagi ayah.

Entah tahun berapa yang pasti saat itu aku masih umur 7 tahunan, ayah diberi ujian oleh Allah. Sepeda tua dan seluruh dagangannya hilang dicuri orang. Tak ada satu pun yang tersisa. Bagaimana tidak sedih, karena itulah sarana ayah mendapatkan rezeki. Hem, mau bagaimana lagi dengan terpaksa kami sekeluarga menerimanya. Ayah pun mulai saat itu mencari akal bagaimana menghidupi keluarga seperti biasanya. Sampai pada akhirnya ayah memilih untuk menjadi tukang becak di kota. Namun itu tak sampai berbulan ayah berhenti karena penghasilannya tak seberapa dan mampu mencukupi kebutuhan keluarga apalagi saat itu aku dan dua kakakku sudah bersekolah. Muncullah inisiatif ayah untuk mengikuti jejak-jejak sebagian tetangga yang mencari nafkah di pulau Masalembu nun jauh disana. Tak ada lagi yang bisa dilakukan ayah di tempat barunya itu kecuali jadi tukang becak juga. Selang beberapa bulan ayah memilih pulang karena tidak kuat dengan kondisi dan pekerjaan ayah. Maklumlah fisik ayah memang sedikit lemah. Pernah satu kali dengan becak dan penumpangnya ayah terjatuh.

Mulai sejak ayah berhenti dari profesinya itu, ayah fokus bertani dan membantu pekerjaan ibu beternak sapi. Selesai shalat shubuh ayah dan ibu sudah siap-siap untuk pergi ke kandang dan ke sawah. Dengan keadaan yang serba terbatas itu, memaksa ibu untuk bekerja banting tulang pula mencari nafkah. Pernah satu waktu berjualan beras dan jagung ke pasar. Namun karena tak mampu bersaing dengan yang lain, ibu berhenti berjualan. Karena terus terang ibu tak punya tempat untuk berjualan. Beliau hanya menumpang emperan toko milik Bu De. Sejak saat itu, ayah dan ibu memilih fokus untuk bertani dan beternak walau hasilnya tidak seberapa. Hanya mampu untuk makan dan bertahan hidup saja. 

Saat ini, seharian ibu membanting tulang mulai dari persoalan dapur dan mengurus ternak. Tak ada waktu untuk ibu beristirahat. Hanya waktu saat shalat menjelang saja beliau gunakan untuk rehat sejenak. Setelah itu, ibu bergegas kembali ke pekerjaannya. Sedang ayah dengan kondisi keterbatasan tenaga dan umur yang sudah menua hanya bisa membantu pekerjaan ibu itu. Sisanya ayah gunakan untuk mengajar anak-anak mengaji.

Saat ini pula, aku belum bisa berbuat apa-apa untuk kebahagiaan keluargaku. Aku hanya bergelut dengan masalahku sendiri. Hanya impian yang menggebu di dada ini untuk bangun kebahagiaan keluarga dengan tangan dan keringat sendiri tapi belum berujung dalam tindakan yang sempurna. Terlalu banyak masalah yang juga menghampiriku apalagi aku masih belum bisa membuang kebiasaanku sebagai orang yang pemikir, terlalu berperasaan dengan hal-hal kecil serta aku terlalu lembek dan penakut untuk bertindak. Padahal dengan melihat kondisi keluarga yang menuntutku untuk sukses dan itu juga merupakan bagian dari cita-cita hidupku-seharusnya aku sudah mulai bergerak lebih jauh. Bukan hanya berkutat dengan kemelut diri.

Aku tak bisa menikmati keadaan ini yang seharusnya aku terima dan tak berusaha pula membantu keluarga untuk menikmati keadaan yang seharusnya juga diterima. Seharusnya tidak harus menunggu kaya untuk bisa menjalin keluarga bahagia itu. Aku dan keluargaku juga punya hak dan bisa untuk bahagia walau dengan kondisi yang seperti ini. Tapi harus tetap berkobar dalam dada kalau aku harus kaya dan bisa membahagiakan keluarga. Sudah cukup penderitaan dan ketidak-bahagian panjang yang ayah dan ibu alami.

Maka selama proses usahaku itu, aku kondisikan keluargaku untuk bahagia. Dengan ucapan dan nasehat yang terus aku berikan pada mereka. Tentu juga dengan tindakan yang membuat mereka senang. Sewaktu pulang kemarin aku ciumi seluruh anggota keluargaku.

”Ibu, kita ini harus bahagia walau dengan kondisi keterbatasan.
Jadi biar tidak hanya orang kaya saja yang hidupnya tentram dan bahagia.
Kita pun juga harus bahagia.” Ibu kulihat menahan air mata sambil mengangguk.

”Ibu bahagia kok nak!”.  Jawabnya tegas meyakinkanku.

Kulihat wajah ibu yang sejuk itu banyak menanggung beban hidup untuk kebahagian anak-anaknya. Tapi sampai saat ini beliau belum melihat dengan sempurna anak-anaknya menyandang kesuksesan. Walau beliau tidak pernah menuntut kami untuk sukses tapi pengorbanan dan doa yang terpanjat dari beliau telah cukup memberikan bukti pada kami bahwa kami, anak-anak ibu harus sukses. Dengan kondisi seperti ini, akankah aku masih berleha-leha menunda waktu untuk segera menampakan senyum bahagia di wajah ibu dan ayah?.

Tak penting kamu mengeluhkan keadaan. Tak penting kamu bercengkrama dengan ketidak-berdayaan dan ketidak-nikmatan. Yang harus kamu lakukan sekarang, kamu segera mengambil tindakan untuk meraih impian-impianmu itu agar ibu dan ayahmu masih sempat menikmati jua bersamamu. Sebelum...ya sebelum beliau tiada. Akan hilang separuh kebahagianmu jika kamu bisa meraih impian-impianmu setelah beliau tiada. Maafkanlah kesalahan mereka jika dalam benakmu terbersit pikiran kalau keadaanmu seperti ini karena mereka, walau pikiranmu itu salah besar karena kamu tak pernah mensyukuri keberadaan mereka walau mereka tak banyak yang bisa dilakukan untuk membuat kamu bangga dan bahagia. Sudahlah, terima saja keadaan keluargamu. Terima keadaan dirimu dan nikmati setiap proses untuk meraih impian-impianmu itu. Jangan pernah menunda lagi sebelum kamu menyesal karena orang yang begitu mencintaimu tak sempat melihat kamu bahagia.

Allah, aku tak mampu berkata-kata apa-apa lagi.
Hanya Engkau yang harus di sampingku menemani perjalanan ini.
Bersama Engkau, akan aku raih ’kado terindah terindah’ itu untuk ibu, ayah, keluarga dan orang-orang yang aku sayangi!

Catcil seorang anak selesai membaca catatan kecil sahabatnya; tentang....?.
Rasa iri itu menelusup tiba-tiba dalam dadanya karena melihat keluarga sahabatnya itu begitu bahagia.
Kutulis catcil ini dalam harapan yang membuncah!

Surabaya, 08 Agustus 2011
Revisi, 22 Desember 2011
At 07.53 

Beginilah aktivitas ibu sehari-hari

Ayah waktu masih muda

Ibuku cantik sekali

Bersama ayah dan ibu dalam wisudaku

Tidak ada komentar:

Pengikut